POLITIK DINASTI RAWAN KORUPSI

0
1037

Melalui pemilu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati maupun wali kota.

Namun agaknya, pilkada serentak justru menumbuh suburkan dinasti politik di daerah. Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara.

Dominannya politik kekerabatan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia bukanlah isu baru. Ini semua sebagai dampak dari mandeknya proses kaderisasi partai kita sehingga politik kekerabatan telah mengisi ruang kosong proses kaderisasi politik di era Reformasi.




Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan. Seperti yang kita ketahui dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah dengan tujuan kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarganya.

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional.

Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.

Indonesia sudah bisa menjadi contoh nyata akan adanya dinasti politik tersebut. Dinasti politik di pilkada 2020 disebut meningkat. Pada 2015 lalu, Yoes mengatakan hanya ada 52 peserta pilkada yang memiliki kekerabatan dengan pejabat.

Di Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki hubungan dengan elite politik. Dari 158 calon yang ikut pilkada, kata Yoes, sebanyak 67 di antaranya berpotensi menang. Menurutnya, hal itu membuat buruk tatanan demokrasi Indonesia.https://m.cnnindonesia.com/nasional/20201216200833-32-583132/dinasti-politik-di-pilkada-2020-disebut-meningkat-67-menang.

Dinasti politik sering dinilai negatif. Dinasti politik tidak hanya menciptakan kecenderungan ketidakadilan dalam demokrasi maupun in-efektivitas dan in-efisiensi pemerintahan, namun juga potensial memberikan persoalan pada penyalahgunaan kekuasaan.

Kondisi ini memang cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Namun akses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.

Alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara asal keluarga berkuasa.

Lantas apakah politik dinasti berbanding lurus dengan praktek korupsi? Memang politik dinasti tidak serta merta (ex-officio) membuat seseorang menjadi koruptor.

Namun politik dinasti memberikan ruang dan melapangkan jalan terjadinya korupsi. Hal ini yang rasanya sulit untuk dibantah jika melihat data yang tersedia.

Politik dinasti dan korupsi, adalah dua hal yang sulit dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling bertalian. Melalui politik dinasti, penumpukan kekuasaan akan terjadi hanya kepada satu kerabat saja.

Tidak jarang pula, dinasti politik melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga. Perilaku korupsi merupakan salah satu bahaya yang kerap kali terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika politik dinasti berkuasa.

Sebab, dengan kekuasaan atau kewenangan masing-masing dapat saling mengamankan dan memberikan dukungan tindakan korupsi.

Anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal/privilege atau finansial/popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan orang biasa.

Berdasarkan data, tren politik dinasti ditingkat daerah memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dalam kurun waktu 2010-2014, terdapat 61 daerah yang menerapkan praktik politik dinasti.

Maka berdasarkan hasil penelitian terbaru, jumlah daerah yang menerapkan politik dinasti, sudah mencapai 117 atau sekitar 21 persen dari jumlah daerah otonomkita.https://www.herdi.web.id/korupsi-dan-politik-dinasti/#_ftn5

Kombinasi antara dorongan kebutuhan, adanya niat jahat, dan mentalitas korup sebagai pemicu maraknya korupsi di daerah.

Kondisi tersebut akan semakin mudah bermetamorfosis menjadi perilaku koruptif jika kesempatan terbuka lebar. Dinasti politik memerlukan biaya besar dan banyak sumber daya untuk melanggengkan kekuasaannya.

Di bagian lain, dinasti politik yang berkuasa menguasai akses sumber daya yang ada.

Dalam beberapa studi, kinerja pemerintahan daerah yang dikuasai politik dinasti menyebabkan daerah tersebut tidak banyak kemajuan dan tidak ada perbaikan.

Penyebab utama politik dinasti menjamur di Indonesia ialah mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen politik yang objektif.

Misalnya, kemiskinan meningkat dan tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan warganya. Hal ini terjadi karena sistem yang dibangun terabaikan oleh kepentingan keluarga dalam pengumpulan pundi pundi ekonomi.

Namun, selain itu, perlu juga dilihat relasi antara sistem pemilihan dengan biaya politik yang menyebabkan dinasti politik tumbuh subur dan kaitannya dengan biaya politik pemilihan.

Dalam konteks Indonesia, fenomena politik dinasti diakibatkan persoalan yang kompleks. Apabila dibatasi dinasti politik melingkupi jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah dan anggota legislatif daerah, maka setidaknya dapat dirumuskan empat faktor pendorong merebaknya politik dinasti, khususnya yang terbelit persoalan penyalahgunaan kekuasaan.

Solusi dari dinasti politik agar tidak terjadinya korupsi yaitu, perbaikan terhadap regulasi. Pembatasan terhadap seseorang yang diduga memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa sebenarnya cukup efektif untuk mencegah hadirnya dinasti politik dan muncul tokoh atau kandidat baru yang memiliki kompetensi dan kualifikasi, serta lebih menjamin pelaksanakan kompetisi secara fair.

Oleh: Sherly Pradevi
Mahasiswi Program Studi Administrasi Politik Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

Print Friendly, PDF & Email


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini